Kisah Haru sirkus “kampung” India

November 06, 2014


Anak “sirkus” menerima semua keadaan sebagai sebuah Karma, menjadi tulang punggung keluarga dengan sebuah harga pengorbanan “keamanan” nyawa sendiri


Pagi itu perayaan Idul Adha di India. Tidak seakbar perayaan Idul Adha di negeri kita tercinta. Suara takbir bergema dimana mana, memeluk hati mengingat yang Esa. Setiap terdengar suara takbir, entah mengapa? titik air mata tak terbendung lagi mengingat Ayah tercinta *sesakdada*. Dikampung emak, anak anak TPQ setempat membawa obor  mengumandangkan suara takbir keliling kampung.

Sangat beda Perayaan hari raya Qurban Di India. Tak terdengar suara takbir. Begitu sunyi meski emak tinggal dikawasan muslim di kota Delhi. Hanya terdengar suara kambing yang siap dikorbankan esok harinya. Hebohnya, Kambing yang yang akam disembelih bagaikan mau fashion show, pakai t-shir bermotif garis garis, Shirt motif kotak-kota ditambah dengan kalung bunga plus kaca mata hitam J

Keesokan harinya setelah shalat, masjid dan rumah sibuk menyembelih kambing. Berbeda dengan Indonesia, semua hewan kurban diserahkan ke Masjid. Kebanyakan warga India menyembelih kambing sendiri. Kemudian diberikan kepada sanak keluarga dan keluarga tak mampu. Jadilah, kawasan muslim dipenuhi dengan pengemis yang mengharapkan daging. Entah darimana, Mereka datang berkelompok, sekeluarga dengan pakaian yang kumal, kotor dan rambut yang acak acak an.

Emak tinggal dilantai apartemen lantai dua. Ketika emak membuka pintu balkoni, puluhan pengemis sudah menanti, memanggil, menengahdahkan tangan, mengaharap Daging Korban. Menunjukkan wajah memelas sambil menunjukkan tangan ke arah mulut, menunjukkan mereka lapar. Tak mudah memang menyaksikan hal ini. Emak memilih masuk kembali kedalam apartemen dan bermain bersama malaikat kecilku.

Ketika kami asyik bermain bersama. Tiba tiba terdengar suara musik yang sangat keras keluar dari sebuah corong speaker model lama. Emak dan si kecil bergegas keluar menuju balkoni dan tetap dikerubuti pengemis. Ternyata seorang lelaki membawa gerobak datang bersama istri dan kedua anaknya. Pasangan yang masih muda, berumur sekitar 20 an tahun. Si kakak perempuan, berusia sekitar 9 tahun. Sedangkan si adik berumur 4 tahun.


Sang suami sibuk membenarkan dua tiang yang menyilang diatasnya. Sedangkan si Ibu memukul dengan  palu besi yang lumayan berat. Menancapkan sebuah pasak besi di jalan berbeton. Tiang yang bersilang kemudian diikatkan dengan sebuah tali, bertautan dengan pasak, membentuk seperti sebuah tiang emperan cucian.

Beberapa orang muali tertarik datang. si Kakak mulai melemaskan badan, sedangkan di adik yang hanya mengenakan atasan sibuk bermain di jalan. Badannya kurus kotor dan nampak terbiasa dengan kerumunan orang dan hidup dijalanan.

Penasaran, emak menunggu apa yang ingin mereka tampilkan. Kemudian si Ibu, dengan sebuah speaker berbicara berbahasa India, memanggil dan menjelaskan ‘atraksi’ yang yang akan mereka tunjukkan.


Astaghfirullah, begitu kagetnya emak. Si kakak yang dari tadi melemaskan badan menaiki ujung tiang tanpa pengaman, dengan membawa hulahop dan tongkat.  Dengan keseimbangan yang bagus, dia berjalan diatas tali, mdari satu ujung ke ujung satunya. Badan emak sampe keringat dingin. Peralatan, kayu dan tali seadanya dan jalanan berbeton. Tak ada pengaman, hanya “kasih ibu” yang berada di bawah mengikuti gerak sang anak *usapmata*. Semua atraksi  diikuti sebuah lagi mangharu biru tentang kasih sayang seorang ibu.

Berbagai atraksi keseimbang dia tampilkan. Sebuah talenta yang luar biasa. Dengan membawa tongkat, hulahop, berjalan dengan satu kaki, dengan menggunakan sandal, berjalan dengan piring, semakin lama atraksi semakin ‘keren’ dan sangat menghawatirkan. Si kakak, menyerahkan kepercayaan seutuhnya kemanan diri ditangan sang bunda. Sementara sang adik sibuk bermain sendiri atau sekedar berjalan kesana kemari.

Diakhir atraksi, dengan speakernya si ibu mengharapkan “bayaran” ikhlas 10 atau 20 Rupees, sangat berharga bagi mereka. Tak mudah memang, kebanyakan anak seumuran seperti dia pastilah sibuk bermain, sekolah dan bermanja. Anak “sirkus” menerima semua keadaan sebagai sebuah Karma. Dia menjadi tulang punggung keluarga dengan sebuah harga pengorbanan “keamanan” nyawa sendiri. Sebuah ‘atraksi’ dengan taruhan nyawa untuk menyambung Nyawa keluarga.


Saya percaya, ibunya juga tak tega melakukan semua itu. Saya perhatikan, matanya selalu awas mengikuti gerakan si kecil. Matanya begitu sayu, kawatir, penuh harap  dan sebuah tatapan kasih sayang.

Terpikir dalam benak emak. Pertunjukkan Sirkus Rusia dengan tiket ratusan ribu rupiah. Dengan peralatan yang canggih, baju super elastis dan keamanan yang terjamin. Sangat berbeda dengan Sirkus kampung dengan ‘tiket’ seikhlasnya. Apakah semua tentang Karma? takdir? keberuntungan? Entahlah. Apapun itu Kehidupan terus berjalan meski rantai air mata tergantung di pelupuk mata. 

You Might Also Like

2 $type={blogger}

  1. Mbak.. mereka ada sesekah gak sih mbak? Zakat? :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada Zakat untuk kaum Muslim. Sedekah juga ada, cuman ya gitu, wajah kemiskinan di India kayak gini nyata terlihat

      Delete

Follow Twitter

Follow Instagram